Selasa, 16 Februari 2016

PENDIDIKAN BERBASIS ETNOPEDAGOGI: BAIMAN, BAUNTUNG DAN BATUAH, Eksplorasi Konsepsi dan Konten Pendidikan Urang Banjar

PENDIDIKAN BERBASIS ETNOPEDAGOGI:
BAIMAN, BAUNTUNG DAN BATUAH,
Eksplorasi Konsepsi dan Konten Pendidikan Urang Banjar[1]

D r.Sarbaini, M.Pd [2]

sarbainiunlamnjm1959@gmail.com
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat

Abstrak
Kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang mampu mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan. Etnopedagogi dapat berperan dalam pendidikan berbasis nilai budaya bagi pengajaran dan pembelajaran dalam konteks teaching as cultural activity dan the culture of teaching. Nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber inovasi dalam bidang pendidikan berbasis budaya masyarakat lokal, perlu pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal, reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal,  revitalisasinya sesuai dengan kondisi kontemporer, mengembangkan konsep-konsep akademik dan melakukan uji coba model-model etnopedagogi dalam pembelajaran. Baiman, Bauntung dan Batuah mengandung nilai-nilai, konsep dan muatan pendidikan berbasis etnopedagogi yang layak dieksplorasi, diinterpretasi, direvitalisasi dan dikembangkan sebagai konsep-konsep dan model-model etnopedagogik dalam pendidikan maupun pembelajaran.

Kata kunci: kearifan lokal, etnopedagogi, baiman, bauntung, batuah

Pendahuluan
Globalisasi telah memaksa kita untuk mematuhi tuntutannya, sehingga kebudayaan di dunia menjadi seragam, materialisme, westernisasi, pembaratan, dan bahkan amerikanisasi, dalam pola berpikir, berperilaku dan material. Hal demikian ditambah lagi dengan realitas karakter manusia Indonesia,  yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Kenyataan menunjukkan bahwa mentalitas dan karakter manusia Indonesia masih terlihat dalam kehidupan masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh  Mochtar Lubis dan Koentjaraningrat. Lubis (cetakan 2012) sampai pada kesimpulan bahwa manusia Indonesia umumnya bermental munafik, enggan bertanggungjawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah, boros, bukan pekerja keras, suka mengeluh, mudah dengki, suka sombong, dan tukang tiru. Sedangkan Koentjaraningrat (1987) cendrung melihat manusia Indonesia memiliki sifat yang meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin, dan suka mengabaikan tanggung jawab.
Kondisi demikian melahirkan reaksi dari masyarakat dunia, khususnya dari Indonesia, dalam hal ini dunia pendidikan, ada kelompok yang menggali pendidikan dari khasanah literasi pemikir Islam, dan ada pula  yang menggali khasanah kearifan lokal. Menurut Hurip Danu Ismadi (2015, dalam Purwanto, 2015) Konsep mengenai kearifan lokal menjadi tema yang kerap kali disinggung sebagai jawaban atas berbagai persoalan yang timbul dari proses pembangunan, modernisasi, maupun globalisasi yang datang “dari luar”. Khazanah lokal dan tradisional kembali dilirik dan dianggap sebagai obat mujarab untuk  berbagai persoalan tersebut, dan diyakini mampu memperbaiki dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan.
Pada sisi lainnya, seperti apa yang dinyatakan oleh Lim Tech Ghee dan Alberto G.Gomes tentang keragaman budaya di kawasan Asia Tenggara, dan jauh sebelum itu, J.P.B de Josselin de Jong, juga mengemukakan bahwa kawasan ini menarik untuk kajian kebudayaan, melalui pidato pengukuhan guru besarnya berjudul “De Maleische Archipel als Ethnologisch Studievled”, Kepulauan Indonesia sebagai Lapangan Penelitian Etnologi (P.Mitang, 1971, dikutip Kartawinata, 2011). Pernyataan de Jong demikian, mendorong kita untuk lebih mengkaji kearifan lokal masyarakat Indonesia, sehingga mampu mengangkat dan manghasilkan temuan konsep-konsep, jika tidak teori-teori berbasis pemikiran peneliti pribumi atau orang maupun suku di mana kebudayaan dari kearifan lokal tersebut berakar.
Pengungkapan kearifan lokal tidak hanya menunjukkan ketahanan kita dalam hal kebudayaan, tetapi juga keberlanjutan kebudayaan, dalam arti jangan sampai nilai-nilai budaya lokal tergerus oleh nilai budaya asing. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal merupakan konsepsi eksplisit dan implisit yang khas milik seseorang, suatu kelompok atau masyarakat (Kartawinata, 2011), yang mampu mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan; mengikat setiap individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu; memberi arah dan intensitas emosional serta mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari.
Khusus kearifan lokal, untuk daerah yang penduduknya, atau suku bangsanya mayoritas Islam, ternyata terdapat beragam bentuk konsep filosofis sebagai manifestasi akulturasi nilai lokal dan ajaran Islam. Akulturasi ini merupakan produk kecerdasan leluhur suku bangsa tersebut dalam menerima agama Islam (iman, ilmu, amal) mengadopsinya menjadi produk budaya (peradaban) dalam bentuk pola pikir, pola perilaku dan pola material. Salah satu produk budaya, (peradaban) dari suku Banjar dalam ditemukan pada pola pikir berupa gagasan atau konsep filosofis sebagai sistem keyakinan atau basis dalam menempuh kehidupan, etos atau watak adalah suatu doa yang diberikan oleh kakek, nenek atau orang tua kepada cucu ataupun anaknya adalah “ Mudahan cu ai atau nak ai, ikam menjadi manusia nang baiman, bauntung dan batuah"? (Semoga cucu atau anak, kamu menjadi manusia yang beriman, bermanfaat, dan mulia).
Makalah ini akan mengeksplorasi kearifan lokal, etnopedagogi, konsepsi dan muatan pendidikan dari istilah baiman, bauntung dan batuah.

Pembahasan
1.    Kearifan Lokal
Kearifan lokal menurut pengertian kebahasaan, berarti kearifan setempat (local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakatnya. Dalam konsep antropologi (Kartawinata, 2011), kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), yang menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural identity).
Kearifan lokal atau “local genius” merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Wales (Ayatrohaedi, 1986:30) yaitu, “the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life‟. Selain itu, local genius menurut Wales yaitu “ kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan‟ (Rosidi, 2011:29). Karena itu dapat dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dan di tempat-tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa  (Yunus, 2014: 37).
Kearifan lokal secara substansial merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, baik secara eksplisit maupun implisit diyakini kebenarannya menjadi acuan dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang mampu mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan; mengikat setiap individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu; memberi arah dan intensitas emosional serta mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari.
Menurut Tezzi, Marchettini, dan Rosini (2012) bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari (Nurma Ali Ridwan, 2007).
Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2012) mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. Oleh karena itu, kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas, suku ataupun masyarakat lokal. Dalam hal ini, kearifan lokal memiliki ciri (Suratno, 2010); berdasarkan pengalaman; 2) teruji setelah digunakan berabad-abad; 3) dapat diadaptasikan dengan kultur kini; 4) padu dengan praktik keseharian masyarakat dan lembaga; 5) lazim dilakukan oleh individu maupun masyarakat; 6) bersifat dinamis; dan 7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan.

2.    Etnopedagogi
Ide tentang etnopedagogi di Indonesia muncul di kampus UPI melalui pemikiran Alwasilah,et.al (2009) dan Kartadinata (2010). Istilah etnopedagogi di UPI menurut Suratno (2010) dapat dipandang sebagai suatu pesan terkait dengan dengan istilah budaya-karakter (aspek etno), dan pendidikan keguruan (aspek pedagogi).
Alwasilah, et.al (2009) mengemukakan dalam konteks budaya secara umum, etnopedagogi menaruh perhatian khusus terhadap local genius dan local wisdom dengan mengungkap nilai-nilai budaya Sunda sebagai model awal.  Ajip Rosidi (2009) mengingatkan bahwa nilai budaya Sunda modern telah berbaur dengan budaya lainnya. Beberapa postulat dikemukakan terkait karakter masyarakat Sunda: hurip, waras, cageur, bageur, bener, pinter, ludeung, silih asah, silih asuh, silih asih, sineger tengah, singer, motekar dan rapekan (ibid, p43-44; Kartadinata, 2010). Dapat dikatakan bahwa Etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan lokal (local knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat
Dalam perspektif hakikat pendidikan, baik Alwasilah et al. (2009) maupun Kartadinata (2010) memandang bahwa pendidikan tidak terlepas dari aspek sosial dan kultural. Pendidikan bersifat deliberatif dalam arti masyarakat mentransmisikan dan mengabadikan gagasan kehidupan yang baik yang berasal dari kepercayaan masyarakat yang fundamental mengenai hakikat dunia, pengetahuan dan tata nilai (Alwasilah et al., 2009, p16). Oleh karena itu, diperlukan reorientasi landasan ilmiah mengenai pendidikan yang hirau terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sesuatu yang selama ini luput dari perhatian dikarenakan kurangnya studi tentang landasan budaya pendidikan. Keutamaan pendidikan hendaknya jangan sampai tereduksi menjadi hal-hal yang superficial, sebagaimana terjadi kini pada rezim standarisasi, sehingga mengabaikan tujuan luhur dari pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan yang membudayakan (Suratno, 2010).
Berdasarkan analisis terhadap dimensi budaya dan pendidikan, Alwasilah et al. (2009, Suratno,2010) memandang Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat, yakni kearifan lokal tersebut terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan.
Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal nampaknya sejalan dengan temuan Alexander (2000, dalam Suratno, 2010) yang menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara pedagogi dengan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Hal demikian juga sejalan dengan pandangan Bernstein (Bernstein & Solomon, 1999, dalam Suratno, 2010) yang menyatakan ‘‘How a society selects, classifies, distributes, transmits and evaluates the educational knowledge it considers to be public, reflects both the distribution of power and principles of social control’.
Menarik apa yang dikemukakan oleh Suratno (2010) tentang upayanya untuk memposisikan etnopedagogi secara lebih strategis, pertama, etnopedagogi dapat berperan dalam pendidikan berbasis nilai budaya bagi pengajaran dan pembelajaran dalam konteks teaching as cultural activity (Stigler & Hiebert, 1999) dan the culture of teaching. Di sisi lain, etnopedagogi berperan dalam menciptakan secara berantai kader-kader yang memiliki kecerdasan kultural dan konteks pendidikan guru.
Oleh karena diperlukan tindakan untuk mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber inovasi dalam bidang pendidikan berbasis budaya masyarakat lokal, dengan cara melakukan pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal, dan revitalisasinya sesuai dengan kondisi kontemporer. Selain itu diperlukan kerjasama yang kuat antara pemerintah daerah, perguruan tinggi dan budayawan untuk revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal maupun mengembangkan konsep-konsep akademik, melakukan uji coba model-model etnopedagogi dalam pembelajaran (Anan-Nur, 2010).
Sementara itu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) saat ini sedang mengembangkan Etnopedagogi dengan fokus pada pengembangan nilai-nilai kearifan lokal sebagai landasan dan falsafah pendidikan, di antaranya gotong royong (Pikiran Rakyat, 12 November 2015), salah satunya menjadikan Kabupaten Subang sebagai Laboratorium Praktek Gotongroyong.

3.    Baiman, Bauntung dan Batuah
Istilah baiman, bauntung dan batuah merupakan gambaran tentang konsepsi manusia yang diharapkan oleh masyarakat Banjar dan tentang bagaimana hendaknya praktik pendidikan dilakukan berbasis kearifan lokal. Konsepsi dan praktik pendidikan terhadap anak merupakan khasanah nilai-nilai luhur masyarakat Banjar sebagai manifestasi pengetahuan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan oleh leluhur masyarakat Banjar kepada keturunannya.
Pada mulanya makna baiman, bauntung dan batuah diperoleh berdasarkan pengamatan terhadap kehidupan suku Banjar dan telaah literatur yang berkaitan dengan tata kelakuan orang Banjar (Nawawi, Ramli, dkk. (1984/1985), akan tetapi untuk memperkuat hasil  pengamatan dan telaah literatur, maka dilakukan wawancara terhadap beberapa informan.
Pemberian makna terhadap istilah baiman, bauntung dan batuah diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa informan yang berusia di atas 45 tahun yang tinggal di Babirik, Simpur (Kabupaten HSS), Tambak Karya, Kurau (Kabupaten Tanah Laut), Astambul (Kabupaten Banjar), Mandastana, Anjir (Kabupaten Batola), Bukat Bawan, Barikin (Kabupaten HST), Ampukung Kalua (Kabupaten Tabalong), Tampakang, Paminggir (Kabupaten HSU). Namun pada kesempatan ini, hanya dipaparkan hasil wawancara dengan 10 (sepuluh) informan saja.

a.    Baiman
Baiman maknanya adalah orang yang beriman. Orang beriman berarti harus paling tidak mengetahui rukun iman dan dasar-dasar ketauhidan. Iman menjadi fondasi bagi kehidupan orang Banjar. Untuk menjadi orang yang beriman, maka setiap orang tua mendidik anak-anaknya agar belajar membaca Al Qur'an, belajar bacaan sholat, belajar sholat, belajar membaca syair Maulud Habsyi atau Maulud Barzanji. Jika tidak diajari oleh orangtuanya, maka orang tua memasukkan anak-anaknya ke pondok-pondok pesantren, sekolah diniyah (atau waktu sore setelah sekolah di SD), dan TPA, maupun belajar dengan Guru Mengaji di rumah dan di langgar. Di rumah urang Banjar bahari selalu terdapat Kitab Parukunan, Kitab Surah Yasin, dan Al Qur’an, hiasan kaligrafi Allah dan Muhammad, dan Ayat Kursi. Dengan fondasi baiman, diharapkan dalam kehidupan si anak dapat menjadi manusia yang bauntung.
Dari hasil wawancara dengan beberapa informan, maka makna istilah baiman ternyata beragam pengungkapannya. Namun jika ditelusuri secara substantive terdapat esensi yang sama terhadap makna baiman, akan tetapi indikator baiman menunjukkan bermacam-macam pola. Sebagaimana matrik 1 tentang makna baaiman menurut para informan

Matrik 1. Makna Baiman
Informan
Makna Baiman
Substansi
1
Percaya kepada Allah, kada maninggalkan shalat 5 waktu, nang intinya tu supaya anak cucu tu manjadi anak taat dalam agama
Percaya kepada Allah, tidak meninggalkan shalat 5 waktu, intinya taat dalam agama
·      Percaya kepada Allah
·      Menjalankan Shalat 5 waktu
·      Taat dalam agama
2
Orang nang taat wan agama, selalu menjalankan shalat, jangan sampai kakanakan tu kada tahu di sembahyang
Orang taat terhadap agama, selalu menjalankan shalat, jangan sampai tidak dengan shalat
·      Taat terhadap agama
·      Shalat
3
Selalu baiman kepada Allah, menjalankan ibadah agamanya, dan menjadi anak yang  saleh
Selalu beriman kepada Allah, menjalankan ibadah agamanya, dan menjadi anak  yang saleh
·       Beriman
·       Beribadah
·       Menjadi Anak saleh
4
Anak nang salalu taat kepada agama, salalu manjalankan ibadah shalat
Anak yang selalu taat kepada agama, selalu menjalankan ibadah shalat
·       Taat agama
·       Menjalankan Shalat
5
Salalu taat baibadah, salalu manjalankan ibadah sholat, jangan sampai anak itu kada sambahyang
Selalu taat beribadah, selalu menjalankan ibadah sholat, jangan sampai tidak sholat
·       Taat Beribadah
·       Menjalankan Shalat
6
Mudahan tatap dibari iman dalam hidup ini, kada melenceng lawan nang sudah ditantukan agama, iman gasan pegangan hidup
Mudahan tetap diberi iman dalam hidup ini,  tidak melenceng dari yang sudah ditentukan agama, iman untuk pegangan hidup.
·       Hidup beriman
·       Mematuhi ketentuan agama
·       Iman pegangan hidup
7
Percaya kepada Allah, kada wani lawan kuitan, percaya kepada rasul, salalu manjalankan ibadahnya, pokoknya manjalankan rukun islam lawan rukun iman.
Percaya kepada Allah, tidak berani dengan orang tua, percaya kepada rasul, selalu menjalankan ibadah, intinya menjalankan rukun islam dan rukun iman
·       Percaya kepada Allah
·       Percaya kepada rasul
·       Beribadah, khususnya rukun iman dan rukun Islam
·       Mematuhi orang tua
8
Baisi ketaqwaan dalam batingkah-laku, napapun nang digawi inya salalu percaya lawan Allah yang salalu mengawasi kalakuannya baik awan buruk, akan ada balasannya dari Allah, sadikitnya inya baisi pengatahuan lawan rukun iman, urang tuha handaknya malajarinya akan rukun iman lawan anaknya, maamalakan, lawan dasar iman, diharapakan kehidupan anak mudahan bauntung.
Memiliki ketaqwaan dalam berperilaku, apa saja yang dikerjakan selalu percaya dengan Allah yang selalu mengawasi kelakuan baik atau buruk, nanti ada balasannya dari Allah, sedikitnya mempunyai pengetahuan tentang rukun iman, orang tua hendaknya mengajarkan rukun kepada anaknya, mengamalkan atas dasar iman, diharapkan kehidupan anak menjadi beruntung.
·       Taqwa dalam berperilaku
·       Segala pekerjaan dan perilaku selalu percaya kepada,   diawasi, dan mendapat balasan Allah
·       Mengetahui rukun iman dan mengamalkan atas dasar iman
·       Orang tua mengajarkan rukun iman
·       Diharapkan kehidupan beruntung
9
Parcaya seyakin-yakinnya, mempunyai kayakinan lawan Allah SWT nang maha kuasa dari sagala-galanya di muka bumi. Makanya urang Banjar atau Kurau ini pada hakikatnya wani-wani, apalagi di jaman paparangan malawan Balanda atau Japang. Imanlah nang dipegang kuat-kuat.
Percaya seyakin-yakinnya, mempunyai keyakinan kepada Alah SWT Yang Maha Kuasa dari segala-segalanya di muka bumi. Karena itu orang Banjar atau Kurau ini pada hakikatnya berani-berani, apa di jaman perang melawan Belanda ata Jepang, imanlah yang dipegang kuat-kuat.
·       Percaya dan yakin kepada Allah, Maha Kuasa dari segala-segalanya
·       Hakekatnya menjadi berani karena Allah
·       Iman dipegang kuat-kuat
10
Parcaya adanya Allah SWT, nangkaya Rukun Iman nitu nah, rukun Iman to kada hanya jadi rukun atawa hal nang diparcayai, tatapi harus diyakini sampai mati, manusia tu parlu baiman. Tahu kalu kahidupan ni kadada di dunia haja, pa kaina kita hidup di akhirat, handa surga parlu baiman dulu syaratnya. Dibaca akan Lailah hailallah Muhammadarrosullah rahat anak guring di ayunan.
Percaya adanya Allah SWT, seperti Rukun Iman itu, rukun ima itu tidak hanya rukun atau hal yang dipercayai, tetapi harus diyakini sampai mati, manusia itu perlu beriman. Tahu tidak kehidupan ini tidak di dunia saja, kan nanti hidup di akhirat, hendak ke surga perlu beriman dulu syaratnya. Di baca La illaha illalah Muhammad Rasullulah, ketika anak tidur di ayunan
·       Percaya adanya Allah SWT, seperti terdapat dalam rukun iman
·       Rukun iman dipercayai dan diyakini sampai mati
·       Manusia perlu beriman
·       Baca baca La illaha illalah Muhammad Rasullulah ketika menidurkan anak

Jika dirangkai kata-kata substansi dari hasil wawancara di atas, maka dapatlah disusun secara tentatif konsepsi dari istilah Baiman, yaitu :
1)   Konsepsi Pendidikan dari Baiman adalah Hidup beriman dan bertaqwa dalam perilaku, yakni percaya dan yakin kepada Allah, Maha Kuasa dari segala-galanya, percaya  kepada Rasul, memegang dengan kuat iman sebagai pegangan hidup, segala pekerjaan dan perilaku percaya kepada, diawasi, dan mendapat balasan dari Allah.
2)   Sebagai bukti hidup beriman, maka orang hendaknya taat  mematuhi ketentuan agama, beribadah sesuai rukun iman dan rukun Islam berdasarkan iman yang kuat sebagai pegangan hidup, menjalankan sholat, meematuhi orang tua, agar hidup beruntung, dan hanya berani karena Allah.
3)   Kandungan Pendidikan dari Baiman adalah orang tua hendaknya mengajarkan ilmu agama, terutama rukun iman, rukun islam, sholat, kepatuhan terhadap orang tua dan anak yang saleh, serta mengamalkan kalimah La illaha illalah Muhammad Rasullulah ketika menidurkan anak.

b.    Bauntung
Bauntung maknanya adalah bermanfaat atau berguna, bukan hanya sekedar untung saja. Untung dalam bahasa Banjar berarti bernasib baik. Dengan berbasis pada iman,  dan dibekali ilmu keagamaan, maka insyaallah kehidupannya akan membawa manfaat dan berguna bagi dirinya sendiri, ornag lain, masyarakat, dan lingkungan. Jika asas manfaat dan berguna ini dengan landasan iman dan digunakan menurut proses keilmuan, maka kehidupannya insyaallah akan bernasib baik. Jadi nasib baik, bukan karena keberuntungan semata, tetapi ada koridor keimanan yang menjadi basis dari proses keilmuan untuk pemanfaatan dirinya.
Berikut dipaparkan hasil wawancara terhadap 10 (sepuluh) informan tentang makna istilah bauntung, sebagai dirinci dalam matrik 2.

Matrik 2. Makna Bauntung
Informan
Makna Baiman
Substansi
1
Selalu parajakian dalam bausaha, kada mau rugi, salalu barajaki tarus anak cucu tu, baik dalam badagang, bagawi tulak ke kampung urang
Selalu memperoleh rezeki dalam berusaha, tidak mau rugi, selalu memperoleh rezeki terus, baik berdagang,  bekerja di kampung orang
·   Selalu berezeki, tidak rugi dalam berusaha, berdagang dan bekerja
2
Jangan hanya banyak harta lalu kawa manukar sagalanya. Hidup tu paling parlu bauntung, kalu ada marabahaya pa bisa salamat karana bauntung. Bauntung ni parlu banar tadih, jadi cu ai lawan alim ulama, wan kuitan minta doa akan supaya jadi anak nang bauntung
Jangan hanya banyak harta kemudian bisa membeli segalanya. Hidup itu perlu beruntung, kalau ada marabahaya bisa selamat, karena beruntung. Beruntung itu perlu benar tadi, jadi dengan alim ulama, dan orang tua minta doa supaya jadi anak yang beruntung

·   Harta tidak bisa dijadikan ukuran segala-segalanya
·   Penting selamat dari marabahaya
·   Minta doa dengan alim ulama dan orang tua, agar hidup beruntung
3
Parajakian tarus dalam bacari, dimanapun inya bacari salalu barajaki. Amunnya urang kada ulihi bacari, anak yang didoakan tu ba ulihi tarus.
Selalu memperoleh rezeki dalam berusaha, dimanapun dia berusaha selalu memperoleh rezeki. Kalau orang tidak berhasil dalam berusaha, anak yang didoakan, selalu berhasil
·   Selalu memperoleh rezeki dalam berusaha
·   Selalu didoakan orang tua
4
Batambah kasukesan dalam gawian di dunia dan kesuksesan di akhirat nanti, nang digawinya bagus, capat, lancar tarus kada tapi banyak halangan.
Bertambah kesuksesan dalam  pekerjaan di dunia dan sukses di akhirat nanti, yang dikerjakan bagus, cepat,  lancar terus tidak banyak halangan
·   Sukses di dunia dan di akhirat
·   Pekerjaan bagus, cepat, lancar terus tidak banyak hambatan
5
Parajakian, banyak razaki, apabila bausaha selalu menjadi berkah
Selalu memperoleh rezeki, banyak rezeki, apabila berusaha selalu menjadi berkah
·   Selalu memperoleh rezeki
·   Berusaha menjadi berkah
6
Salalu parajakian dalam bausaha, kawa mambahagiakan lawan mambangga akan kuitan, salalu barajaki tarus anak cucu, baik dalam badagang, bagawi, pokoknya apa haja usahanya asal nang halal lawan nang ba barkah
Selalu memperoleh rezeki dalam berusaha, bisa membahagiakan dan membanggakan orang tua, selalu memperoleh rezeki anak dan cucu, baik dalam hal berdagang, bekerja, pokoknya apa saja yang diusahakan asal halal dan yang berberkah.
·   Selalu memperoleh rezeki
·   berdagang, bekerja secara halal dan  berberkah.
·   membahagiakan dan membanggakan orang tua,

7
Inya baisiian nasib baik, atau amun bagawi napa haja salalu baulihan nang baik, dibari razaki awan Allah awan nyaman, napa inya biasa menggawi nang baik haja, jadi Allah membari balasan lawannya kebaikan.
Orang yang memiliki nasib baik, atau dalam pekerjaan maupun apa saja yang dilakukannya selalu memperoleh hasil yang baik, diberi rezeki dari Allah dengan kemudahan, karena dalam hidupnya biasanya selalu berbuat atau bertindak kebaikan, sehingga Allah memberikan balasan kepadanya kebaikan
·   Bernasib baik  dengan hasil baik dalam pekerjaan dan apapun yang dilakukan.
·   Diberi rezeki dengan kemudahan, karena selalu berbuat baik
8
Inya baisian kauntungan dalam hidupnya, awan dibekali iman, keuntungan nang ampunnya dalam hidup kelawasan mambawa manfaat awan baguna san inya surang, urang lain awan jua dua bubuhan masyarakat. Keuntungan ni tu digawinya untuk kabaikan, mambawa manfaat awan jua mahasilakan nilai nang baik awan hidupnya.
Orang yang memiliki keberuntungan dalam hidupnya, dengan dibekali iman, maka keberuntungan yang didapat dalam hidupnya akan semakin bermanfaat dan berguna baik bagi dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan masyarakat. Keberuntungan akan digunakan dalam hal-hal kebaikan, sehingga manfaatnya semakin memberikan nilai positif terhadap kehidupannya
·   Hidup beruntung jika dibekali iman
·   Keberuntungan semakin bermanfaat dan berguna bagi diri sendiri, orang lain dan masyarakat jika digunakan untuk kebaikan, dan mempunyai nilai positif kepada ybs
9
Parajakian, parajakian dalam bagawi, dimanapun inya berada salalu barajaki, mambahagiakan kuitan lawan kada mengecewakan kuitan.
Selalu memperoleh rezeki dalam bekerja, di manapun berada selalu memperoleh rezeki, membahagiakan orang tua dan tidak mengecewakan orang tua
·   Selalu memperoleh rezeki
·   Membahagiakan dan tidak mengecewakan orang tua
10
Hidup to parlu banar bauntung. Jangan haja sugih atau jua banyak harta, tapi bauntung yang nang panting. ada kalu  paribahasa urang dahulu nintu "urang pintar kalah lawan urang nang bauntung". salalu bauntung di dalam hidupnya dan banyak dikatujui urang di kampung.
Hidup itu perlu sekali beruntung. Jangan hanya kaya atau juga banyak harta, tetapi beruntung yang penting. Adakan peribahasa orang dahulu itu “orang pintar kalah dengan orang yang beruntung. Selalu beruntung di dalam hidupnya dan banyak disukai orang di kampung
·  Beruntung itu penting, tidak hanya kaya
·  Orang pintar kalah dengan orang beruntung
·  Orang beruntung, disukai banyak orang

Jika dirangkai kata-kata substansi dari hasil wawancara di atas, maka dapatlah disusun secara tentatif konsepsi dari istilah Bauntung, yakni :
1)        Konsepsi Pendidikan dari Bauntung adalah Hidup yang bernasib baik,  selalu berezeki, tidak rugi dalam berusaha dan berdagang, dan bekerja secara halal, cepat, lancar,  dengan hasil yang bagus dan baik, berusaha mencari berkah, selamat dari marabahaya, diberi kemudahan, bermanfaat dan bernilai positif, untuk kebaikan diri sendiri, orang lain, masyarakat, sehingga sukses di dunia dan di akhirat.
2)        Untuk mencapai hidup beruntung maka orang hidup harus berdasarkan iman, memandang bahwa harta bukan ukuran segala-galanya, beruntung itu penting, tidak hanya kaya, orang beruntung disukai orang banyak dan orang pintar kalah dengan orang beruntung. Di samping itu tidak lupa meminta doa dengan orang tua dan alim ulama, agar hidup beruntung, juga membahagiakan, membanggakan, dan tidak mengecewaan orang tua.
3)        Kandungan Pendidikan dari Bauntung adalah berusaha tidak rugi dalam berusaha dan berdagang; bekerja dengan niat mencari berkah; berlandasan kehalalan, dengan proses memudahkan, cepat, dan lancar; hasil yang bagus, baik, bermanfaat, dan bernilai positif; untuk kebaikan diri sendiri, orang lain dan masyarakat; menuju sukses di dunia dan di akhirat.

c.    Batuah
Batuah maknanya adalah menjadi manusia yang mempunyai harkat dan martabat, bahkan dalam taraf tertentu bisa menjadi karamah. Namun secara awam manusia yang diharapkan paling tidak memiliki martabat yang mulia baik di dunia maupun di akhirat. Tahap ketiga ini memadukan antara kebermanfaatan manusia dalam konteks amaliah dunia dan amaliah akhirat berbasis iman yang kuat dan keilmuan yang mumpuni. Jika dapat disodorkan sosok yang demikian, dapat dijadikan referensi untuk sosok Urang Banua adalah Muhammad Arsyad al Banjari yang diberi gelar Datu Kalampayan.

Matrik 3. Makna Batuah
Informan
Makna Baiman
Substansi
1
Punya kalabihan yang nang kada dimiliki urang lain, misalnya wasi, atau karis. Urang bahari parcaya wasi itu baisi kalabihan, amunnya dalam diri manusia urang tu punya kalabihan, nang kadada dimiliki urang lain, contohnya ulama, nah ulama itu kalabihannya jar urang maunah, amun para rasul itu sambatannya mukjijat, mun manusia nang mempunyai kalabihan itu sambatannya karamat.
Punya kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, misalnya besi, keris. Orang dahulu mempercayai besi memiliki kelebihan, kalau dalam diri manusia, orang itu punya kelebihan, yang tidak dimiliki orang lain, contohnya ulama, nah ulama itu kelebihannya disebut maunah, kalau para rasul disebut mukjijat, kalau manusia yang mempunyai kelebihan disebut keramat.
·  Punya kelebihan yang tidak dimiliki orang lain
·  kelebihan ulama, maunah
·  kelebihan rasul, mukjijat
·  kelebihan manusia, keramat
2
Dikatujui urang, baik di kampung saurang atau di kampung urang lain. Urang tu katuju, na pa baisiian kaistimewaan nang kawa mambantu urang lain. Samuanya tacapai amunnya imannya selalu dijalankan, pokok utamanya di kaimanan.
Disukai orang, baik di kampung sendiri atau di kampung orang lain. Orang menyukai, karena mempunya keistimewaan yang dapat membantu orang lain. Semua tercapai kalau iman dijalankan, pokok utamanya keimanan
·   Disukai orang
·   Mempunyai keistimewaan yang bisa membantu orang
·   Berbasis iman
3
Supaya dikatujui urang tarus, dimanakah inya bagana, urang salalu suka wan inya, karana baisiian bakat nang kadadang dimiliki urang. Jadi inya ja nang baisi bakat itu, dan bakatnya tu dijalankan untuk mambantu urang lain.
Supaya disukai orang terus, di manapun berada, orang selalu suka dengannyaa, karena memiliki bakat yang tidak dipunyai orang. Jadi dia saja yang punya bakat itu, dan bakatnya itu dijalankan untuk membantu orang lain.
·   Disukai orang terus
·   Memiliki bakat yang tidak dimiliki orang lain
·   Digunakan untuk membantu orang lain
4
Babarakat, ujar urang bahari tu batambah kabaikan apa nang digawi itu nang disambat babarakat
Membawa berkah, kata orang dahulu itu bertambah kebaikan, apa yang dikerjakan membawa berkah
·   Membawa berkah
·   Bertambah kebaikan
·   Apa yang dikerjakan berberkah
5
Terpandang di mata urang lain, manjadi contoh nang baik bagi urang-urang, urang tu nah patut dituruti kalakuannya.
Menjadi orang terhormat di mata orang lain, menjadi contoh baik untuk orang-orang, orang itu patut ditiru kelakuannya
·   Menjadi orang terhormat
·   Contoh yang baik bagi  orang
·   Patut ditiru kelakuannya
6
Dikatujui urang, baik di kampung saurang atau di kampung urang lain, urang tu katuju awan inya, na pa inya baisian kaistimewaaan nang kawa mambantu urang lain, misalnya haja harat mangaji, harat batatamba atau ai ba caramah.
Disukai orang, baik di kampung sendiri atau di kampung orang lain, orang senang dengannya, karena mempunyai keistimewaan yang dapat menolong orang lain,  misalnya ahli mengaji, ahli mengobati atau berceramah.
·   Disenangi orang
·   Mempunyai keistimewaan (keahlian khusus) untuk menolong orang lain

7
Urang nang baisian  harkat awan martabat dalam hidupnya. Urangnya baisian, atau bahias diri lawan akhlak nang mulia san kahidupannya, kada hanya di dunia lawan jua tujuan hidupnya, awan akhirat. Awan martabat nang baik, urang kawa jadi tapandang hidupnya awan masyarakat di mana inya badiam.
Orang yang mempunyai harkat dan martabat dalam hidupnya. Orangnya memiliki dan menghias dirinya dengan akhlak mulia untuk kehidupannya, tidak hanya di dunia dan tujuan hidupnya, dan akhirat. Dengan martabat yang baik, orang bisa menjadi terhormat hidupnya dan di masyaratnya.
·   Memiliki harkat dan martabat
·   Memiliki dan menghias diri dengan akhlak mulia
·   Terhormat hidupnya di masyarakat
8
Dikatujui urang tarus, dimanakah inya bagana, urang salalu katuju wan inya tu, na pa inya baisiian bakat nang kadada dimiliki urang. Jadi inya ha ja nang baisi bakat nangitu, awan bakatnya nangitu dijalankan san manulungi urang lain
Disenangi orang terus, di manapun berada, orang selalu suka dengannya, karena mempunyai bakat yang tidak dimiliki orang. Jadi dia saja yang memilikinya, dan bakat itu dijalankan untuk membantu orang lain
·   Disenangi orang
·   Memiliki bakat yang tidak dipunyai orang lain
·   Bakat tersebut digunakan untuk menolong orang lain
9
Disukai urang banyak, na pa inya baisi kalabihan nang kadada dimiliki urang lain, hanya inya ha ja yang memilikinya, memiliki dunia dan akhirat
Disukai orang banyak, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, hanya dia saja yan memilikinya, memiliki dunia dan akhirat
·   Disenangi orang
·   Memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain
·   Memiliki dunia dan akhirat
10
Baguna san urang lain, jaka kita tu babarkah. Nah mun hidup tu babarkah nyaman. Manusia tu parlu banar batuah, mun kada inya kana sambatan orang nang kada baik
Berguna untuk orang lain, berberkah. Kalau hidup itu berberkah nyaman.  Manusia itu perlu sekalu batuah, kalau tidak disebut orang yang tidak baik
·   Berguna untuk orang lain
·   Membawa berkah

Jika dirangkai kata-kata substansi dari hasil wawancara di atas, maka dapatlah disusun secara tentatif konsepsi dari istilah Batuah, yakni :
1)        Konsepsi Pendidikan dari Batuah Hidup yang mempunyai kelebihan berupa bakat, keistimewaan atau keahlian khusus yang tidak dimiliki orang lain yang berbasis iman, digunakan untuk menolong dan menjadi berkah bagi orang lain, sehingga disukai bahkan dicintai orang, sehingga menjadi contoh yang baik, patut ditiru kelakuannya, terhormat hidupnya di masyarakat, memiliki harkat dan martabat,  karena memiliki dan menghias diri dengan akhlak mulia.
2)        Untuk mencapai hidup batuah, maka orang harus memiliki kelebihan dalam bakat, keistimewaan, atau keahlian khusus, mendasarkan hidup pada iman, suka menolong, menjadi berkah bagi orang lain, contoh perilaku yang baik dan patut ditiru, terhormat hidupnya, memiliki harkat dan martabat,  menghias diri dengan akhlak mulia.
3)        Kandungan Pendidikan dari Batuah adalah berusaha memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, mempelajari kelebihan manusia berupa keramat, kelebihan ulama, maunah, kelebihan rasul, mukjijat, berorientasi pada iman, suka menolong, berkah bagi orang lain, teladan dalam perilaku, terhormat dalam harkat dan martabat, menghias diri dengan akhlak mulia, untuk memiliki dunia dan akhirat.
Kesimpulan
1.    Kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang mampu mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan; mengikat setiap individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu; memberi arah dan intensitas emosional serta mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari.
2.    Etnopedagogi dapat berperan dalam pendidikan berbasis nilai budaya bagi pengajaran dan pembelajaran dalam konteks teaching as cultural activity dan the culture of teaching.
3.    Mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber inovasi dalam bidang pendidikan berbasis budaya masyarakat lokal, dengan cara melakukan pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal,  revitalisasinya sesuai dengan kondisi kontemporer, mengembangkan konsep-konsep akademik dan melakukan uji coba model-model etnopedagogi dalam pembelajaran
4.    Kearifan lokal Baiman, Bauntung dan Batuah mengandung nilai-nilai, konsep dan muatan pendidikan berbasis etnopedagogi yang layak dieksplorasi, diinterpretasi, direvitalisasi dan dikembangkan sebagai konsep-konsep dan model-model etnopedagogik dalam pendidikan maupun pembelajaran.


Sumber Rujukan
Alexander, R. (2000). Culture and Pedagogy: International Comparisons in Primary Education. London: Blackwell
Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktek       Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Ayatrohaedi.(1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Pelajar.
Anan-Nur.(2010). Membangun Pendidikan Indonesia dengan Kembali pada Kearifan Lokal. Online.http://anan-nur.blogspot.co.id/2010/08/membangun-pendidikan-indonesi-dengan.html.Sabtu, 07 Agustus 2010. Unduh. 11 Nopember 2015.
Bernstein, B., Solomon, J.(1999). Pedagogy, identity and the construction of a theory of symbolic control: Basil Berstein questioned by Joseph Solomon. British Journal of Sociology of Education. June 1999; 20: 2.
E.Tiezzi, N.Marchettini, & M.Rosini. (2012). Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community. Online.http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp. Unduh. 11 November 2015.
Hapip, Abdul Djebar Hapip. (1997). Kamus Bahasa Banjar-Indonesia. Edisi III.   Banjarmasin percetakan PT Grafika Wangi Kalimantan-Banjarmasin.
Kartadinata, S. (2010). Etnopedagogik: Sebuah Resureksi Ilmu Pendidikan (pedagogik). Makalah disajikan pada 2nd International Seminar 2010 ‘Practice Pedagogic in         Global Education Perspective’. PGSD UPI, Bandung, 17 May, 2010.
Kartawinata, Ade.M.(2011). Merentas Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi dan Tantangan Pelestarian, dalam Nasruddin (2011). Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Koentjaraningrat. (1987). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Lubis, Mochtar.(2012). Transformasi Budaya untuk Masa Depan. Jakarta: Gunung Agung
Nawawi, Ramli, dkk. (1984/1985). Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarga     dan Masyarakat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan         Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen         Kebudayaan Depdikbud.
Purwanto, Semiarto Aji.(2014). Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan, Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kemendikbud.

Pikiran Rakyat. (2015).UPI Kembangkan Etnopedagogi di Kabupaten Subang. Jum’at, 19 Agustus 2015. Online.www.pikiran-rakyat.com. Unduh 10 November 2015.
Ridwan, Nurma Ali.(2007). Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol.5 No.1. Jan-Jun 2007. 27-38.
Rosidi, A.(2009). Manusia Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
______, (2011). Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama
Sarbaini, (2012). Pendidikan Karakter WASAKA (Waja Sampai Kaputing) UNLAM. Banjarmasin; UPT MKU (MPK-MBB) UNLAM.
_______, (2013). Baiman, Bauntung dan Batuah Sebagai Sosok Manusia Harapan Orang Tua Suku Banjar; Kajian Awal Etnopedagogi, dalam Membangun Kearifan Lokal dan Masa Depan Kalimantan Selatan. Lambung Mangkurat University Sharing Knowledge 2013. Banjarmasin: Lembaga Penelitian Unlam
_______, (2014). Dari Wasaka (Waja Sampai  Kaputing) Menuju Taluba (Baiman, Bauntung dan Batuah); Konseptualisasi Nilai-nilai Luhur Suku Banjar Sebagai Sosok Karakter Harapan ‘Urang Banua’ Perspektif Etnopedagogi. Makalah dalam Proceeding International Seminar on Character Education, May 24, 2014. Banjarmasin: Faculty of Teacher Training and Education Lambung Mangkurat University.
Stigler, W.S., & Hiebert.(1999). The teaching gap: Best ideas from the world”s teacher for improving education in the classroom. New York: The Free Press.
Suratno, Tatang. (2010). Memaknai Etnopedagogi sebagai Landasan Pendidikan Guru di Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Proceedings of The 4th International        Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.
Yunus, Rasid. (2014). Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish



[1] . Paper in International Seminar on Ethopedagogy, November 14, 2015. Faculty of Teacher Training and Education Lambung Mangkurat University.
[2]  Dosen Program Studi PPKn FKIP Unlam

1 komentar:

  1. mau tanya pak
    apakah pendekatan ethnogedagogy ini bisa mengembangkan siswa sastra multikultural?

    BalasHapus