PENDIDIKAN
BERBASIS ETNOPEDAGOGI:
BAIMAN,
BAUNTUNG DAN BATUAH,
Eksplorasi
Konsepsi dan Konten Pendidikan Urang Banjar[1]
D r.Sarbaini, M.Pd [2]
sarbainiunlamnjm1959@gmail.com
Program Studi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat
Abstrak
Kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang
mampu mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan
tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan. Etnopedagogi
dapat berperan dalam pendidikan berbasis nilai budaya bagi pengajaran dan
pembelajaran dalam konteks teaching as
cultural activity dan the culture of
teaching. Nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber inovasi dalam bidang
pendidikan berbasis budaya masyarakat lokal, perlu pemberdayaan melalui adaptasi
pengetahuan lokal, reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal, revitalisasinya sesuai dengan kondisi
kontemporer, mengembangkan konsep-konsep akademik dan melakukan uji coba
model-model etnopedagogi dalam pembelajaran. Baiman, Bauntung dan Batuah
mengandung nilai-nilai, konsep dan muatan pendidikan berbasis etnopedagogi yang
layak dieksplorasi, diinterpretasi, direvitalisasi dan dikembangkan sebagai
konsep-konsep dan model-model etnopedagogik dalam pendidikan maupun
pembelajaran.
Kata
kunci: kearifan lokal, etnopedagogi, baiman,
bauntung, batuah
Pendahuluan
Globalisasi telah memaksa kita untuk
mematuhi tuntutannya, sehingga kebudayaan di dunia menjadi seragam,
materialisme, westernisasi, pembaratan, dan bahkan amerikanisasi, dalam pola
berpikir, berperilaku dan material. Hal demikian ditambah lagi dengan realitas
karakter manusia Indonesia, yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Kenyataan menunjukkan bahwa mentalitas
dan karakter manusia Indonesia masih terlihat dalam kehidupan masyarakat,
seperti yang dikemukakan oleh Mochtar
Lubis dan Koentjaraningrat. Lubis (cetakan 2012) sampai pada kesimpulan bahwa
manusia Indonesia umumnya bermental munafik, enggan bertanggungjawab, berjiwa
feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah, boros, bukan pekerja keras,
suka mengeluh, mudah dengki, suka sombong, dan tukang tiru. Sedangkan
Koentjaraningrat (1987) cendrung melihat manusia Indonesia memiliki sifat yang
meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin, dan
suka mengabaikan tanggung jawab.
Kondisi demikian melahirkan reaksi dari
masyarakat dunia, khususnya dari Indonesia, dalam hal ini dunia pendidikan, ada
kelompok yang menggali pendidikan dari khasanah literasi pemikir Islam, dan ada
pula yang menggali khasanah kearifan
lokal. Menurut Hurip Danu Ismadi (2015, dalam Purwanto, 2015) Konsep mengenai
kearifan lokal menjadi tema yang kerap kali disinggung sebagai jawaban atas
berbagai persoalan yang timbul dari proses pembangunan, modernisasi, maupun
globalisasi yang datang “dari luar”. Khazanah lokal dan tradisional kembali
dilirik dan dianggap sebagai obat mujarab untuk
berbagai persoalan tersebut, dan diyakini mampu memperbaiki dampak yang
ditimbulkan oleh pembangunan.
Pada sisi lainnya, seperti apa yang
dinyatakan oleh Lim Tech Ghee dan Alberto G.Gomes tentang keragaman budaya di
kawasan Asia Tenggara, dan jauh sebelum itu, J.P.B de Josselin de Jong, juga
mengemukakan bahwa kawasan ini menarik untuk kajian kebudayaan, melalui pidato
pengukuhan guru besarnya berjudul “De
Maleische Archipel als Ethnologisch Studievled”, Kepulauan Indonesia
sebagai Lapangan Penelitian Etnologi (P.Mitang, 1971, dikutip Kartawinata,
2011). Pernyataan de Jong demikian, mendorong kita untuk lebih mengkaji
kearifan lokal masyarakat Indonesia, sehingga mampu mengangkat dan manghasilkan
temuan konsep-konsep, jika tidak teori-teori berbasis pemikiran peneliti
pribumi atau orang maupun suku di mana kebudayaan dari kearifan lokal tersebut
berakar.
Pengungkapan kearifan lokal tidak hanya
menunjukkan ketahanan kita dalam hal kebudayaan, tetapi juga keberlanjutan
kebudayaan, dalam arti jangan sampai nilai-nilai budaya lokal tergerus oleh
nilai budaya asing. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal
merupakan konsepsi eksplisit dan implisit yang khas milik seseorang, suatu kelompok
atau masyarakat (Kartawinata, 2011), yang mampu mempengaruhi pilihan yang
tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan;
mengikat setiap individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu; memberi arah
dan intensitas emosional serta mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi
sehari-hari.
Khusus kearifan lokal, untuk daerah yang
penduduknya, atau suku bangsanya mayoritas Islam, ternyata terdapat beragam
bentuk konsep filosofis sebagai manifestasi akulturasi nilai lokal dan ajaran
Islam. Akulturasi ini merupakan produk kecerdasan leluhur suku bangsa tersebut
dalam menerima agama Islam (iman, ilmu, amal) mengadopsinya menjadi produk
budaya (peradaban) dalam bentuk pola pikir, pola perilaku dan pola material. Salah
satu produk budaya, (peradaban) dari suku Banjar dalam ditemukan pada pola
pikir berupa gagasan atau konsep filosofis sebagai sistem keyakinan atau basis
dalam menempuh kehidupan, etos atau watak adalah suatu doa yang diberikan oleh
kakek, nenek atau orang tua kepada cucu ataupun anaknya adalah “ Mudahan cu ai atau nak ai, ikam menjadi
manusia nang baiman, bauntung dan batuah"? (Semoga
cucu atau anak, kamu menjadi manusia yang beriman, bermanfaat, dan mulia).
Makalah ini akan mengeksplorasi kearifan
lokal, etnopedagogi, konsepsi dan muatan pendidikan dari istilah baiman,
bauntung dan batuah.
Pembahasan
1.
Kearifan Lokal
Kearifan
lokal menurut pengertian kebahasaan, berarti kearifan setempat (local wisdom) yang dapat dipahami
sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakatnya. Dalam konsep antropologi (Kartawinata,
2011), kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge), atau
kecerdasan setempat (local genius),
yang menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural
identity).
Kearifan
lokal atau “local genius” merupakan
istilah yang diperkenalkan oleh Wales (Ayatrohaedi, 1986:30) yaitu, “the sum of the cultural characteristics
which the vast majority of a people have in common as a result of their
experiences in early life‟. Selain itu, local genius menurut Wales yaitu “ kemampuan
kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua
kebudayaan itu berhubungan‟ (Rosidi, 2011:29). Karena itu dapat dikatakan bahwa
kearifan lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dan di
tempat-tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam menghadapi arus
globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang dapat
dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa (Yunus, 2014: 37).
Kearifan
lokal secara substansial merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat,
baik secara eksplisit maupun implisit diyakini kebenarannya menjadi acuan dalam
bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Kearifan lokal
memiliki nilai-nilai yang mampu mempengaruhi pilihan yang tersedia dari
bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan;
mengikat setiap individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu; memberi arah
dan intensitas emosional serta mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari.
Menurut
Tezzi, Marchettini, dan Rosini (2012) bahwa akhir dari sedimentasi kearifan
lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita,
kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah,
semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari.
Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat
yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin
dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai
itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi
bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku
mereka sehari-hari (Nurma Ali Ridwan, 2007).
Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat
panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan
Rosini (2012) mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat
merupakan hasil dari proses trial and
error dari berbagai macam pengetahuan
empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. Oleh karena itu,
kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan
menjadi ciri khas komunitas, suku ataupun masyarakat lokal. Dalam hal
ini, kearifan lokal memiliki ciri (Suratno, 2010); berdasarkan pengalaman; 2)
teruji setelah digunakan berabad-abad; 3) dapat diadaptasikan dengan kultur
kini; 4) padu dengan praktik keseharian masyarakat dan lembaga; 5) lazim
dilakukan oleh individu maupun masyarakat; 6) bersifat dinamis; dan 7) sangat
terkait dengan sistem kepercayaan.
2.
Etnopedagogi
Ide tentang
etnopedagogi di Indonesia muncul di kampus UPI melalui pemikiran
Alwasilah,et.al (2009) dan Kartadinata (2010). Istilah etnopedagogi di UPI
menurut Suratno (2010) dapat
dipandang sebagai suatu pesan terkait dengan dengan istilah budaya-karakter (aspek
etno), dan pendidikan keguruan (aspek pedagogi).
Alwasilah, et.al (2009) mengemukakan
dalam konteks budaya secara umum, etnopedagogi menaruh perhatian khusus
terhadap local genius dan local
wisdom dengan
mengungkap nilai-nilai budaya Sunda sebagai model awal. Ajip Rosidi (2009) mengingatkan bahwa
nilai budaya Sunda modern telah berbaur dengan budaya lainnya. Beberapa
postulat dikemukakan terkait karakter masyarakat Sunda: hurip, waras, cageur, bageur, bener, pinter, ludeung, silih asah,
silih asuh, silih asih, sineger tengah, singer, motekar dan rapekan (ibid,
p43-44; Kartadinata, 2010). Dapat dikatakan bahwa Etnopedagogi
memandang pengetahuan atau kearifan lokal (local
knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat
diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat
Dalam perspektif hakikat pendidikan,
baik Alwasilah et al. (2009) maupun Kartadinata (2010) memandang bahwa
pendidikan tidak terlepas dari aspek sosial dan kultural. Pendidikan bersifat
deliberatif dalam arti masyarakat mentransmisikan dan mengabadikan gagasan
kehidupan yang baik yang berasal dari kepercayaan masyarakat yang fundamental
mengenai hakikat dunia, pengetahuan dan tata nilai (Alwasilah et al., 2009,
p16). Oleh karena itu, diperlukan reorientasi landasan ilmiah mengenai
pendidikan yang hirau terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sesuatu yang selama ini
luput dari perhatian dikarenakan kurangnya studi tentang landasan budaya
pendidikan. Keutamaan pendidikan hendaknya jangan sampai tereduksi menjadi
hal-hal yang superficial, sebagaimana terjadi kini pada rezim standarisasi,
sehingga mengabaikan tujuan luhur dari pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan
yang membudayakan (Suratno, 2010).
Berdasarkan analisis terhadap
dimensi budaya dan pendidikan, Alwasilah et al. (2009, Suratno,2010) memandang
Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai
ranah serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi
dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat, yakni
kearifan lokal tersebut terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan,
disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan.
Etnopedagogi sebagai praktik
pendidikan berbasis kearifan lokal nampaknya sejalan dengan temuan Alexander
(2000, dalam Suratno, 2010) yang menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara
pedagogi dengan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Hal demikian juga
sejalan dengan pandangan Bernstein (Bernstein & Solomon, 1999, dalam
Suratno, 2010) yang menyatakan ‘‘How
a society selects, classifies, distributes, transmits and evaluates the
educational knowledge it considers to be public, reflects both the distribution
of power and principles of social control’.
Menarik
apa yang dikemukakan oleh Suratno (2010) tentang upayanya untuk memposisikan
etnopedagogi secara lebih strategis, pertama, etnopedagogi dapat berperan dalam
pendidikan berbasis nilai budaya bagi pengajaran dan pembelajaran dalam konteks
teaching as cultural activity
(Stigler & Hiebert, 1999) dan the
culture of teaching. Di sisi lain, etnopedagogi berperan dalam menciptakan
secara berantai kader-kader yang memiliki kecerdasan kultural dan konteks
pendidikan guru.
Oleh
karena diperlukan tindakan untuk mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal
sebagai sumber inovasi dalam bidang pendidikan berbasis budaya masyarakat
lokal, dengan cara melakukan pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal,
termasuk reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal, dan revitalisasinya sesuai
dengan kondisi kontemporer. Selain itu diperlukan kerjasama yang kuat antara
pemerintah daerah, perguruan tinggi dan budayawan untuk revitalisasi
nilai-nilai kearifan lokal maupun mengembangkan konsep-konsep akademik,
melakukan uji coba model-model etnopedagogi dalam pembelajaran (Anan-Nur,
2010).
Sementara
itu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) saat ini sedang mengembangkan
Etnopedagogi dengan fokus pada pengembangan nilai-nilai kearifan lokal sebagai
landasan dan falsafah pendidikan, di antaranya gotong royong (Pikiran Rakyat,
12 November 2015), salah satunya menjadikan Kabupaten Subang sebagai
Laboratorium Praktek Gotongroyong.
3.
Baiman,
Bauntung dan Batuah
Istilah baiman,
bauntung dan batuah merupakan gambaran tentang konsepsi manusia yang
diharapkan oleh masyarakat Banjar dan tentang bagaimana hendaknya praktik
pendidikan dilakukan berbasis kearifan lokal. Konsepsi dan praktik pendidikan
terhadap anak merupakan khasanah nilai-nilai luhur masyarakat Banjar sebagai
manifestasi pengetahuan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan
diwariskan oleh leluhur masyarakat Banjar kepada keturunannya.
Pada mulanya
makna baiman, bauntung dan batuah diperoleh berdasarkan pengamatan terhadap
kehidupan suku Banjar dan telaah literatur yang berkaitan dengan tata kelakuan
orang Banjar (Nawawi, Ramli, dkk. (1984/1985), akan tetapi untuk memperkuat
hasil pengamatan dan telaah literatur,
maka dilakukan wawancara terhadap beberapa informan.
Pemberian
makna terhadap istilah baiman, bauntung dan batuah diperoleh dari hasil wawancara dengan
beberapa informan yang berusia di atas 45 tahun yang tinggal di Babirik, Simpur
(Kabupaten HSS), Tambak Karya, Kurau (Kabupaten Tanah Laut), Astambul
(Kabupaten Banjar), Mandastana, Anjir (Kabupaten Batola), Bukat Bawan, Barikin
(Kabupaten HST), Ampukung Kalua (Kabupaten Tabalong), Tampakang, Paminggir
(Kabupaten HSU). Namun pada kesempatan ini, hanya dipaparkan hasil wawancara
dengan 10 (sepuluh) informan saja.
a.
Baiman
Baiman maknanya adalah
orang yang beriman. Orang beriman berarti harus paling tidak mengetahui rukun
iman dan dasar-dasar ketauhidan. Iman menjadi fondasi bagi kehidupan orang
Banjar. Untuk menjadi orang yang beriman, maka setiap orang tua mendidik
anak-anaknya agar belajar membaca Al Qur'an, belajar bacaan sholat, belajar
sholat, belajar membaca syair Maulud Habsyi atau Maulud Barzanji. Jika tidak
diajari oleh orangtuanya, maka orang tua memasukkan anak-anaknya ke
pondok-pondok pesantren, sekolah diniyah (atau waktu sore setelah sekolah di
SD), dan TPA, maupun belajar dengan Guru Mengaji di rumah dan di langgar. Di
rumah urang Banjar bahari selalu terdapat Kitab Parukunan, Kitab Surah Yasin,
dan Al Qur’an, hiasan kaligrafi Allah dan Muhammad, dan Ayat Kursi. Dengan
fondasi baiman, diharapkan dalam kehidupan si anak dapat menjadi manusia yang
bauntung.
Dari
hasil wawancara dengan beberapa informan, maka makna istilah baiman ternyata
beragam pengungkapannya. Namun jika ditelusuri secara substantive terdapat esensi
yang sama terhadap makna baiman, akan tetapi indikator baiman menunjukkan
bermacam-macam pola. Sebagaimana matrik 1 tentang makna baaiman menurut para
informan
Matrik 1. Makna
Baiman
Informan
|
Makna
Baiman
|
Substansi
|
1
|
Percaya kepada Allah, kada maninggalkan
shalat 5 waktu, nang intinya tu supaya anak cucu tu manjadi anak taat dalam
agama
Percaya
kepada Allah, tidak meninggalkan shalat 5 waktu, intinya taat dalam agama
|
·
Percaya kepada Allah
·
Menjalankan Shalat 5 waktu
·
Taat dalam agama
|
2
|
Orang
nang taat wan agama, selalu menjalankan shalat, jangan sampai kakanakan tu
kada tahu di sembahyang
Orang
taat terhadap agama, selalu menjalankan shalat, jangan sampai tidak dengan
shalat
|
·
Taat terhadap agama
·
Shalat
|
3
|
Selalu
baiman kepada Allah, menjalankan ibadah agamanya,
dan menjadi anak yang saleh
Selalu beriman kepada Allah,
menjalankan ibadah agamanya, dan menjadi anak
yang saleh
|
·
Beriman
·
Beribadah
·
Menjadi Anak saleh
|
4
|
Anak
nang salalu taat kepada agama, salalu manjalankan ibadah shalat
Anak yang selalu taat kepada
agama, selalu menjalankan ibadah shalat
|
·
Taat agama
·
Menjalankan Shalat
|
5
|
Salalu
taat baibadah, salalu manjalankan ibadah sholat, jangan sampai anak itu kada
sambahyang
Selalu taat beribadah, selalu
menjalankan ibadah sholat, jangan sampai tidak sholat
|
·
Taat Beribadah
·
Menjalankan Shalat
|
6
|
Mudahan
tatap dibari iman dalam hidup ini, kada melenceng lawan nang sudah ditantukan
agama, iman gasan pegangan hidup
Mudahan tetap diberi iman dalam
hidup ini, tidak melenceng dari yang
sudah ditentukan agama, iman untuk pegangan hidup.
|
·
Hidup beriman
·
Mematuhi ketentuan agama
·
Iman pegangan hidup
|
7
|
Percaya
kepada Allah, kada wani lawan kuitan, percaya kepada rasul, salalu
manjalankan ibadahnya, pokoknya manjalankan rukun islam lawan rukun iman.
Percaya kepada Allah, tidak
berani dengan orang tua, percaya kepada rasul, selalu menjalankan ibadah,
intinya menjalankan rukun islam dan rukun iman
|
·
Percaya kepada Allah
·
Percaya kepada rasul
·
Beribadah, khususnya rukun iman
dan rukun Islam
·
Mematuhi orang tua
|
8
|
Baisi ketaqwaan dalam
batingkah-laku, napapun nang digawi inya salalu percaya lawan Allah yang
salalu mengawasi kalakuannya baik awan buruk, akan ada balasannya dari Allah,
sadikitnya inya baisi pengatahuan lawan rukun iman, urang tuha handaknya
malajarinya akan rukun iman lawan anaknya, maamalakan, lawan dasar iman,
diharapakan kehidupan anak mudahan bauntung.
Memiliki ketaqwaan dalam
berperilaku, apa saja yang dikerjakan selalu percaya dengan Allah yang selalu
mengawasi kelakuan baik atau buruk, nanti ada balasannya dari Allah,
sedikitnya mempunyai pengetahuan tentang rukun iman, orang tua hendaknya
mengajarkan rukun kepada anaknya, mengamalkan atas dasar iman, diharapkan
kehidupan anak menjadi beruntung.
|
·
Taqwa dalam berperilaku
·
Segala pekerjaan dan perilaku
selalu percaya kepada, diawasi, dan
mendapat balasan Allah
·
Mengetahui rukun iman dan
mengamalkan atas dasar iman
·
Orang tua mengajarkan rukun
iman
·
Diharapkan kehidupan beruntung
|
9
|
Parcaya
seyakin-yakinnya, mempunyai kayakinan lawan Allah SWT nang maha kuasa dari
sagala-galanya di muka bumi. Makanya urang Banjar atau Kurau ini pada
hakikatnya wani-wani, apalagi di jaman paparangan malawan Balanda atau
Japang. Imanlah nang dipegang kuat-kuat.
Percaya
seyakin-yakinnya, mempunyai keyakinan kepada Alah SWT Yang Maha Kuasa dari
segala-segalanya di muka bumi. Karena itu orang Banjar atau Kurau ini pada
hakikatnya berani-berani, apa di jaman perang melawan Belanda ata Jepang,
imanlah yang dipegang kuat-kuat.
|
·
Percaya dan yakin kepada Allah,
Maha Kuasa dari segala-segalanya
·
Hakekatnya menjadi berani
karena Allah
·
Iman dipegang kuat-kuat
|
10
|
Parcaya
adanya Allah SWT, nangkaya Rukun Iman nitu nah, rukun Iman to kada hanya jadi
rukun atawa hal nang diparcayai, tatapi harus diyakini sampai mati, manusia
tu parlu baiman. Tahu kalu kahidupan ni kadada di dunia haja, pa kaina kita
hidup di akhirat, handa surga parlu baiman dulu syaratnya. Dibaca akan Lailah
hailallah Muhammadarrosullah rahat anak guring di ayunan.
Percaya adanya Allah SWT,
seperti Rukun Iman itu, rukun ima itu tidak hanya rukun atau hal yang
dipercayai, tetapi harus diyakini sampai mati, manusia itu perlu beriman.
Tahu tidak kehidupan ini tidak di dunia saja, kan nanti hidup di akhirat,
hendak ke surga perlu beriman dulu syaratnya. Di baca La illaha illalah Muhammad
Rasullulah, ketika anak tidur di ayunan
|
·
Percaya adanya Allah SWT,
seperti terdapat dalam rukun iman
·
Rukun iman dipercayai dan
diyakini sampai mati
·
Manusia perlu beriman
·
Baca baca
La illaha illalah Muhammad Rasullulah ketika menidurkan anak
|
Jika dirangkai kata-kata substansi dari hasil
wawancara di atas, maka dapatlah disusun secara tentatif konsepsi dari istilah
Baiman, yaitu :
1) Konsepsi Pendidikan dari Baiman adalah Hidup
beriman dan bertaqwa dalam perilaku, yakni percaya dan yakin kepada Allah, Maha
Kuasa dari segala-galanya, percaya
kepada Rasul, memegang dengan kuat iman sebagai pegangan hidup, segala
pekerjaan dan perilaku percaya kepada, diawasi, dan mendapat balasan dari
Allah.
2) Sebagai
bukti hidup beriman, maka orang hendaknya taat
mematuhi ketentuan agama, beribadah sesuai rukun iman dan rukun Islam
berdasarkan iman yang kuat sebagai pegangan hidup, menjalankan sholat,
meematuhi orang tua, agar hidup beruntung, dan hanya berani karena Allah.
3) Kandungan
Pendidikan dari Baiman adalah orang tua hendaknya mengajarkan ilmu agama,
terutama rukun iman, rukun islam, sholat, kepatuhan terhadap orang tua dan anak
yang saleh, serta mengamalkan kalimah La illaha illalah Muhammad Rasullulah
ketika menidurkan anak.
b.
Bauntung
Bauntung
maknanya adalah bermanfaat atau berguna, bukan hanya sekedar untung saja.
Untung dalam bahasa Banjar berarti bernasib baik. Dengan berbasis pada iman, dan dibekali ilmu keagamaan, maka insyaallah
kehidupannya akan membawa manfaat dan berguna bagi dirinya sendiri, ornag lain,
masyarakat, dan lingkungan. Jika asas manfaat dan berguna ini dengan landasan
iman dan digunakan menurut proses keilmuan, maka kehidupannya insyaallah akan
bernasib baik. Jadi nasib baik, bukan karena keberuntungan semata, tetapi ada
koridor keimanan yang menjadi basis dari proses keilmuan untuk pemanfaatan
dirinya.
Berikut
dipaparkan hasil wawancara terhadap 10 (sepuluh) informan tentang makna istilah
bauntung, sebagai dirinci dalam matrik 2.
Matrik 2. Makna
Bauntung
Informan
|
Makna
Baiman
|
Substansi
|
1
|
Selalu
parajakian dalam bausaha, kada mau rugi, salalu barajaki tarus anak cucu tu,
baik dalam badagang, bagawi tulak ke kampung urang
Selalu memperoleh rezeki dalam
berusaha, tidak mau rugi, selalu memperoleh rezeki terus, baik
berdagang, bekerja di kampung orang
|
·
Selalu berezeki, tidak rugi
dalam berusaha, berdagang dan bekerja
|
2
|
Jangan
hanya banyak harta lalu kawa manukar sagalanya. Hidup tu paling parlu
bauntung, kalu ada marabahaya pa bisa salamat karana bauntung. Bauntung ni
parlu banar tadih, jadi cu ai lawan alim ulama, wan kuitan minta doa akan
supaya jadi anak nang bauntung
Jangan hanya banyak harta
kemudian bisa membeli segalanya. Hidup itu perlu beruntung, kalau ada
marabahaya bisa selamat, karena beruntung. Beruntung itu perlu benar tadi,
jadi dengan alim ulama, dan orang tua minta doa supaya jadi anak yang
beruntung
|
·
Harta tidak bisa dijadikan
ukuran segala-segalanya
·
Penting selamat dari marabahaya
·
Minta doa dengan alim ulama dan
orang tua, agar hidup beruntung
|
3
|
Parajakian
tarus dalam bacari, dimanapun inya bacari salalu barajaki. Amunnya urang kada
ulihi bacari, anak yang didoakan tu ba ulihi tarus.
Selalu memperoleh rezeki dalam
berusaha, dimanapun dia berusaha selalu memperoleh rezeki. Kalau orang tidak
berhasil dalam berusaha, anak yang didoakan, selalu berhasil
|
·
Selalu memperoleh rezeki dalam
berusaha
·
Selalu didoakan orang tua
|
4
|
Batambah
kasukesan dalam gawian di dunia dan kesuksesan di akhirat nanti, nang
digawinya bagus, capat, lancar tarus kada tapi banyak halangan.
Bertambah kesuksesan dalam pekerjaan di dunia dan sukses di akhirat
nanti, yang dikerjakan bagus, cepat,
lancar terus tidak banyak halangan
|
·
Sukses di dunia dan di akhirat
·
Pekerjaan bagus, cepat, lancar
terus tidak banyak hambatan
|
5
|
Parajakian, banyak razaki, apabila bausaha selalu menjadi berkah
Selalu memperoleh rezeki,
banyak rezeki, apabila berusaha selalu menjadi berkah
|
·
Selalu memperoleh rezeki
·
Berusaha menjadi berkah
|
6
|
Salalu
parajakian dalam bausaha, kawa mambahagiakan lawan mambangga akan kuitan,
salalu barajaki tarus anak cucu, baik dalam badagang, bagawi, pokoknya apa
haja usahanya asal nang halal lawan nang ba barkah
Selalu memperoleh rezeki dalam
berusaha, bisa membahagiakan dan membanggakan orang tua, selalu memperoleh
rezeki anak dan cucu, baik dalam hal berdagang, bekerja, pokoknya apa saja
yang diusahakan asal halal dan yang berberkah.
|
·
Selalu memperoleh rezeki
·
berdagang, bekerja secara halal
dan berberkah.
·
membahagiakan dan membanggakan
orang tua,
|
7
|
Inya baisiian nasib baik, atau
amun bagawi napa haja salalu baulihan nang baik, dibari razaki awan Allah
awan nyaman, napa inya biasa menggawi nang baik haja, jadi Allah membari
balasan lawannya kebaikan.
Orang
yang memiliki nasib baik, atau
dalam pekerjaan maupun apa saja yang dilakukannya selalu memperoleh hasil
yang baik, diberi rezeki dari Allah dengan kemudahan, karena dalam hidupnya
biasanya selalu berbuat atau bertindak kebaikan, sehingga Allah memberikan
balasan kepadanya kebaikan
|
·
Bernasib baik dengan hasil baik dalam pekerjaan dan
apapun yang dilakukan.
·
Diberi rezeki dengan kemudahan,
karena selalu berbuat baik
|
8
|
Inya
baisian kauntungan dalam hidupnya, awan dibekali iman, keuntungan nang
ampunnya dalam hidup kelawasan mambawa manfaat awan baguna san inya surang,
urang lain awan jua dua bubuhan masyarakat. Keuntungan ni tu digawinya untuk
kabaikan, mambawa manfaat awan jua mahasilakan nilai nang baik awan hidupnya.
Orang yang memiliki keberuntungan dalam hidupnya, dengan
dibekali iman, maka keberuntungan yang didapat dalam hidupnya akan semakin bermanfaat dan berguna baik bagi
dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan masyarakat. Keberuntungan akan
digunakan dalam hal-hal kebaikan, sehingga manfaatnya semakin memberikan
nilai positif terhadap kehidupannya
|
·
Hidup beruntung jika dibekali
iman
·
Keberuntungan semakin
bermanfaat dan berguna bagi diri sendiri, orang lain dan masyarakat jika
digunakan untuk kebaikan, dan mempunyai nilai positif kepada ybs
|
9
|
Parajakian, parajakian dalam
bagawi, dimanapun inya berada salalu barajaki, mambahagiakan kuitan lawan
kada mengecewakan kuitan.
Selalu memperoleh rezeki dalam
bekerja, di manapun berada selalu memperoleh rezeki, membahagiakan orang tua
dan tidak mengecewakan orang tua
|
·
Selalu memperoleh rezeki
·
Membahagiakan dan tidak mengecewakan
orang tua
|
10
|
Hidup
to parlu banar bauntung. Jangan haja sugih atau jua banyak harta, tapi
bauntung yang nang panting. ada kalu paribahasa urang dahulu nintu "urang
pintar kalah lawan urang nang bauntung". salalu bauntung di dalam
hidupnya dan banyak dikatujui urang di kampung.
Hidup itu perlu sekali
beruntung. Jangan hanya kaya atau juga banyak harta, tetapi beruntung yang
penting. Adakan peribahasa orang dahulu itu “orang pintar kalah dengan orang
yang beruntung. Selalu beruntung di dalam hidupnya dan banyak disukai orang
di kampung
|
· Beruntung
itu penting, tidak hanya kaya
· Orang
pintar kalah dengan orang beruntung
· Orang
beruntung, disukai banyak orang
|
Jika dirangkai kata-kata substansi dari hasil
wawancara di atas, maka dapatlah disusun secara tentatif konsepsi dari istilah
Bauntung, yakni :
1)
Konsepsi
Pendidikan dari Bauntung adalah Hidup yang bernasib baik, selalu berezeki, tidak rugi dalam berusaha
dan berdagang, dan bekerja secara halal, cepat, lancar, dengan hasil yang bagus dan baik, berusaha
mencari berkah, selamat dari marabahaya, diberi kemudahan, bermanfaat dan
bernilai positif, untuk kebaikan diri sendiri, orang lain, masyarakat, sehingga
sukses di dunia dan di akhirat.
2)
Untuk mencapai
hidup beruntung maka orang hidup harus berdasarkan iman, memandang bahwa harta
bukan ukuran segala-galanya, beruntung itu penting, tidak hanya kaya, orang
beruntung disukai orang banyak dan orang pintar kalah dengan orang beruntung.
Di samping itu tidak lupa meminta doa dengan orang tua dan alim ulama, agar
hidup beruntung, juga membahagiakan, membanggakan, dan tidak mengecewaan orang
tua.
3)
Kandungan
Pendidikan dari Bauntung adalah berusaha tidak rugi dalam berusaha dan
berdagang; bekerja dengan niat mencari berkah; berlandasan kehalalan, dengan
proses memudahkan, cepat, dan lancar; hasil yang bagus, baik, bermanfaat, dan
bernilai positif; untuk kebaikan diri sendiri, orang lain dan masyarakat;
menuju sukses di dunia dan di akhirat.
c.
Batuah
Batuah
maknanya adalah menjadi manusia yang mempunyai harkat dan martabat, bahkan
dalam taraf tertentu bisa menjadi karamah. Namun secara awam manusia yang
diharapkan paling tidak memiliki martabat yang mulia baik di dunia maupun di
akhirat. Tahap ketiga ini memadukan antara kebermanfaatan manusia dalam konteks
amaliah dunia dan amaliah akhirat berbasis iman yang kuat dan keilmuan yang
mumpuni. Jika dapat disodorkan sosok yang demikian, dapat dijadikan referensi
untuk sosok Urang Banua adalah Muhammad Arsyad al Banjari yang diberi gelar
Datu Kalampayan.
Matrik
3. Makna Batuah
Informan
|
Makna
Baiman
|
Substansi
|
1
|
Punya kalabihan yang nang kada dimiliki
urang lain, misalnya wasi, atau karis. Urang bahari parcaya wasi itu baisi
kalabihan, amunnya dalam diri manusia urang tu punya kalabihan, nang kadada dimiliki
urang lain, contohnya ulama, nah ulama itu kalabihannya jar urang maunah,
amun para rasul itu sambatannya mukjijat, mun manusia nang mempunyai kalabihan
itu sambatannya karamat.
Punya
kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, misalnya besi, keris. Orang dahulu
mempercayai besi memiliki kelebihan, kalau dalam diri manusia, orang itu
punya kelebihan, yang tidak dimiliki orang lain, contohnya ulama, nah ulama
itu kelebihannya disebut maunah, kalau para rasul disebut mukjijat, kalau
manusia yang mempunyai kelebihan disebut keramat.
|
· Punya
kelebihan yang tidak dimiliki orang lain
· kelebihan
ulama, maunah
· kelebihan
rasul, mukjijat
· kelebihan
manusia, keramat
|
2
|
Dikatujui urang, baik di kampung
saurang atau di kampung urang lain. Urang tu katuju, na pa baisiian kaistimewaan
nang kawa mambantu urang lain. Samuanya tacapai amunnya imannya selalu
dijalankan, pokok utamanya di kaimanan.
Disukai
orang, baik di kampung sendiri atau di kampung orang lain. Orang menyukai,
karena mempunya keistimewaan yang dapat membantu orang lain. Semua tercapai
kalau iman dijalankan, pokok utamanya keimanan
|
·
Disukai orang
·
Mempunyai keistimewaan yang
bisa membantu orang
·
Berbasis iman
|
3
|
Supaya dikatujui urang tarus,
dimanakah inya bagana, urang salalu suka wan inya, karana baisiian bakat nang
kadadang dimiliki urang. Jadi inya ja nang baisi bakat itu, dan bakatnya tu
dijalankan untuk mambantu urang lain.
Supaya
disukai orang terus, di manapun berada, orang selalu suka dengannyaa, karena
memiliki bakat yang tidak dipunyai orang. Jadi dia saja yang punya bakat itu,
dan bakatnya itu dijalankan untuk membantu orang lain.
|
·
Disukai orang terus
·
Memiliki bakat yang tidak
dimiliki orang lain
·
Digunakan untuk membantu orang
lain
|
4
|
Babarakat, ujar urang bahari tu
batambah kabaikan apa nang digawi itu nang disambat babarakat
Membawa
berkah, kata orang dahulu itu bertambah kebaikan, apa yang dikerjakan membawa
berkah
|
·
Membawa berkah
·
Bertambah kebaikan
·
Apa yang dikerjakan berberkah
|
5
|
Terpandang di mata urang lain,
manjadi contoh nang baik bagi urang-urang, urang tu nah patut dituruti
kalakuannya.
Menjadi
orang terhormat di mata orang lain, menjadi contoh baik untuk orang-orang,
orang itu patut ditiru kelakuannya
|
·
Menjadi orang terhormat
·
Contoh yang baik bagi orang
·
Patut ditiru kelakuannya
|
6
|
Dikatujui urang, baik di
kampung saurang atau di kampung urang lain, urang tu katuju awan inya, na pa
inya baisian kaistimewaaan nang kawa mambantu urang lain, misalnya haja harat
mangaji, harat batatamba atau ai ba caramah.
Disukai
orang, baik di kampung sendiri atau di kampung orang lain, orang senang
dengannya, karena mempunyai keistimewaan yang dapat menolong orang lain, misalnya ahli mengaji, ahli mengobati atau
berceramah.
|
·
Disenangi orang
·
Mempunyai keistimewaan
(keahlian khusus) untuk menolong orang lain
|
7
|
Urang nang baisian harkat awan martabat dalam hidupnya. Urangnya
baisian, atau bahias diri lawan akhlak nang mulia san kahidupannya, kada
hanya di dunia lawan jua tujuan hidupnya, awan akhirat. Awan martabat nang
baik, urang kawa jadi tapandang hidupnya awan masyarakat di mana inya badiam.
Orang
yang mempunyai harkat dan martabat dalam hidupnya. Orangnya memiliki dan
menghias dirinya dengan akhlak mulia untuk kehidupannya, tidak hanya di dunia
dan tujuan hidupnya, dan akhirat. Dengan martabat yang baik, orang bisa
menjadi terhormat hidupnya dan di masyaratnya.
|
·
Memiliki harkat dan martabat
·
Memiliki dan menghias diri
dengan akhlak mulia
·
Terhormat hidupnya di
masyarakat
|
8
|
Dikatujui urang tarus, dimanakah
inya bagana, urang salalu katuju wan inya tu, na pa inya baisiian bakat nang
kadada dimiliki urang. Jadi inya ha ja nang baisi bakat nangitu, awan bakatnya
nangitu dijalankan san manulungi urang lain
Disenangi
orang terus, di manapun berada, orang selalu suka dengannya, karena mempunyai
bakat yang tidak dimiliki orang. Jadi dia saja yang memilikinya, dan bakat
itu dijalankan untuk membantu orang lain
|
·
Disenangi orang
·
Memiliki bakat yang tidak
dipunyai orang lain
·
Bakat tersebut digunakan untuk
menolong orang lain
|
9
|
Disukai urang banyak, na pa
inya baisi kalabihan nang kadada dimiliki urang lain, hanya inya ha ja yang
memilikinya, memiliki dunia dan akhirat
Disukai
orang banyak, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, hanya dia
saja yan memilikinya, memiliki dunia dan akhirat
|
·
Disenangi orang
·
Memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki orang lain
·
Memiliki dunia dan akhirat
|
10
|
Baguna san urang lain, jaka
kita tu babarkah. Nah mun hidup tu babarkah nyaman. Manusia tu parlu banar
batuah, mun kada inya kana sambatan orang nang kada baik
Berguna
untuk orang lain, berberkah. Kalau hidup itu berberkah nyaman. Manusia itu perlu sekalu batuah, kalau
tidak disebut orang yang tidak baik
|
·
Berguna untuk orang lain
·
Membawa berkah
|
Jika dirangkai kata-kata substansi dari hasil
wawancara di atas, maka dapatlah disusun secara tentatif konsepsi dari istilah
Batuah, yakni :
1)
Konsepsi Pendidikan dari Batuah Hidup
yang mempunyai kelebihan berupa bakat, keistimewaan atau keahlian khusus yang
tidak dimiliki orang lain yang berbasis iman, digunakan untuk menolong dan
menjadi berkah bagi orang lain, sehingga disukai bahkan dicintai orang,
sehingga menjadi contoh yang baik, patut ditiru kelakuannya, terhormat hidupnya
di masyarakat, memiliki harkat dan martabat,
karena memiliki dan menghias diri dengan akhlak mulia.
2)
Untuk mencapai hidup batuah, maka orang
harus memiliki kelebihan dalam bakat, keistimewaan, atau keahlian khusus,
mendasarkan hidup pada iman, suka menolong, menjadi berkah bagi orang lain,
contoh perilaku yang baik dan patut ditiru, terhormat hidupnya, memiliki harkat
dan martabat, menghias diri dengan
akhlak mulia.
3)
Kandungan Pendidikan dari Batuah adalah
berusaha memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, mempelajari
kelebihan manusia berupa keramat, kelebihan ulama, maunah, kelebihan rasul,
mukjijat, berorientasi pada iman, suka menolong, berkah bagi orang lain,
teladan dalam perilaku, terhormat dalam harkat dan martabat, menghias diri
dengan akhlak mulia, untuk memiliki dunia dan akhirat.
Kesimpulan
1. Kearifan lokal
memiliki nilai-nilai yang mampu mempengaruhi pilihan yang tersedia dari
bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan;
mengikat setiap individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu; memberi arah
dan intensitas emosional serta mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi
sehari-hari.
2. Etnopedagogi
dapat berperan dalam pendidikan berbasis nilai budaya bagi pengajaran dan
pembelajaran dalam konteks teaching as
cultural activity dan the culture of
teaching.
3. Mengangkat
kembali nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber inovasi dalam bidang
pendidikan berbasis budaya masyarakat lokal, dengan cara melakukan pemberdayaan
melalui adaptasi pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasi nilai-nilai
kearifan lokal, revitalisasinya sesuai
dengan kondisi kontemporer, mengembangkan konsep-konsep akademik dan melakukan
uji coba model-model etnopedagogi dalam pembelajaran
4. Kearifan
lokal Baiman, Bauntung dan Batuah mengandung nilai-nilai, konsep dan muatan
pendidikan berbasis etnopedagogi yang layak dieksplorasi, diinterpretasi,
direvitalisasi dan dikembangkan sebagai konsep-konsep dan model-model
etnopedagogik dalam pendidikan maupun pembelajaran.
Sumber
Rujukan
Alexander, R. (2000). Culture
and Pedagogy: International Comparisons in Primary Education. London:
Blackwell
Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri
Karyono. (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Ayatrohaedi.(1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius).
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Anan-Nur.(2010).
Membangun Pendidikan Indonesia dengan Kembali pada Kearifan Lokal.
Online.http://anan-nur.blogspot.co.id/2010/08/membangun-pendidikan-indonesi-dengan.html.Sabtu,
07 Agustus 2010. Unduh. 11 Nopember 2015.
Bernstein, B., Solomon, J.(1999). Pedagogy, identity and the
construction of a theory of symbolic control: Basil Berstein questioned by
Joseph Solomon. British Journal of
Sociology of Education. June 1999; 20: 2.
E.Tiezzi, N.Marchettini, & M.Rosini. (2012). Extending the Environmental Wisdom beyond
the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community.
Online.http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp. Unduh. 11 November
2015.
Hapip,
Abdul Djebar Hapip. (1997). Kamus Bahasa Banjar-Indonesia. Edisi III. Banjarmasin percetakan PT Grafika Wangi
Kalimantan-Banjarmasin.
Kartadinata, S. (2010). Etnopedagogik: Sebuah Resureksi Ilmu
Pendidikan (pedagogik).
Makalah disajikan pada 2nd International Seminar 2010 ‘Practice Pedagogic in Global Education Perspective’. PGSD UPI,
Bandung, 17 May, 2010.
Kartawinata, Ade.M.(2011). Merentas Kearifan Lokal Di Tengah
Modernisasi dan Tantangan Pelestarian, dalam Nasruddin (2011). Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber
Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik
Indonesia.
Koentjaraningrat.
(1987). Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Lubis,
Mochtar.(2012). Transformasi Budaya untuk
Masa Depan. Jakarta: Gunung Agung
Nawawi, Ramli, dkk.
(1984/1985). Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat Daerah Kalimantan Selatan.
Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan Depdikbud.
Purwanto,
Semiarto Aji.(2014). Revolusi Mental
sebagai Strategi Kebudayaan, Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kemendikbud.
Pikiran Rakyat. (2015).UPI Kembangkan Etnopedagogi di Kabupaten
Subang. Jum’at, 19 Agustus 2015. Online.www.pikiran-rakyat.com. Unduh 10
November 2015.
Ridwan, Nurma
Ali.(2007). Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol.5 No.1. Jan-Jun 2007. 27-38.
Rosidi, A.(2009). Manusia Sunda. Bandung: Kiblat Buku
Utama.
______, (2011). Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda.
Bandung: Kiblat Buku Utama
Sarbaini, (2012). Pendidikan Karakter WASAKA (Waja Sampai
Kaputing) UNLAM. Banjarmasin; UPT MKU (MPK-MBB) UNLAM.
_______, (2013).
Baiman, Bauntung dan Batuah Sebagai Sosok Manusia Harapan Orang Tua Suku
Banjar; Kajian Awal Etnopedagogi, dalam Membangun
Kearifan Lokal dan Masa Depan Kalimantan Selatan. Lambung Mangkurat
University Sharing Knowledge 2013. Banjarmasin: Lembaga Penelitian Unlam
_______, (2014). Dari
Wasaka (Waja Sampai Kaputing) Menuju
Taluba (Baiman, Bauntung dan Batuah); Konseptualisasi Nilai-nilai Luhur Suku
Banjar Sebagai Sosok Karakter Harapan ‘Urang Banua’ Perspektif Etnopedagogi. Makalah dalam Proceeding International Seminar on Character Education, May 24,
2014. Banjarmasin: Faculty of Teacher Training and Education Lambung Mangkurat
University.
Stigler, W.S., &
Hiebert.(1999). The teaching gap: Best
ideas from the world”s teacher for improving education in the classroom.
New York: The Free Press.
Suratno,
Tatang. (2010). Memaknai Etnopedagogi sebagai Landasan Pendidikan Guru di Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Proceedings
of The 4th International Conference
on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.
Yunus, Rasid. (2014). Nilai-Nilai
Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris
tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish
mau tanya pak
BalasHapusapakah pendekatan ethnogedagogy ini bisa mengembangkan siswa sastra multikultural?